Belakangan ini isu mengenai
minuman beralkohol dan minuman keras mulai ramai dibicarakan. Dari berbagai
sudut pandang dan dari bermacam kalangan. Mulai dari dunia nyata hingga dunia
ghaib. Hehehe... maksudnya dunia maya. Twitter , facebook, dan media sosial
lainnya. Keppres no. 3 tahun 1997 memang menyatakan tidak ada pengawasan untuk
peredaran minuman beralkohol pada golongan A yaitu yang mengandung kadar etanol
1-5%. Tapi apakah peraturan itu masih
relevan?
Kini beberapa daerah telah
mengeluarkan peraturan terkait pengaturan produksi dan peredaran minuman keras.
Ini membuktikan bahwa ada ketidaksetujuan masyarakat tentang peraturan minuman
keras saat ini. Bahkan secara tidak langsung ini telah disetujui oleh umat
beragama karena daerah Bali dan Manokwari termasuk daerah yang mengeluarkan
peraturan tersebut. Karena telah terjadi
pergeseran dan perubahan pandangan masyarakat dalam memandang minuman beralkohol dan minuman
keras. jika kita lihat kembali 16 tahun yang lalu tepatnya tahun 1997 dimana
keppres itu dikeluarkan tentu pemerintah punya alasan dalam mengeluarkan
keputusan tersebut.
Di desa-desa peredaran minuman
keras ditengah masyarakat cukup luas karena bahan produksi dan pembuatannya yang mudah meski dalam
aturan dilarang kecuali telah mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Tuak ,
arak Bali, dan Ciu adalah contoh dari minuman keras Indonesia. Peredaran yang cukup luas ini disebabkan pemahaman mereka yang masih kurang tentang
dampak negatif dari miras ini. Bahkan miras itu sendiri digunakan dalam upacara
adat mereka, seperti di Provinsi Bali.
Namun demikian keberadaan hukum adat dan sosial masyarakat membuat respon negatif dari masyarakat belum begitu
besar saat itu.
Lalu bagaimana kondisi sekarang?
Terbukanya arus informasi serta kemajuan teknologi membuat pandangan masyarakat
mulai bergeser dan respon mereka juga semakin meningkat karena di sisi yang
lain kekuatan adat dan sosial masyarakat juga semakin melemah. Pengetahuan akan
bahaya dari minuman keras mulai disadari karena banyaknya tindak kejahatan
berawal dari minuman ini. Hal inilah yang menumbuhkan upaya dan gerakan bersama
masyarakat untuk mulai mengkampanyekan gerakan anti miras. Harusnya pemerintah
tanggap dan respon terhadap hal ini.
Berdasarkan data Badan Narkotika
Nasional (BNN), jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dari tahun
1998–2003 adalah 20.301 orang, di mana 70% di antaranya berusia antara 15–19
tahun dan dalam hal ini termasuk miras dan minol. Sebab pada usia ini mereka
dipenuhi oleh rasa keingintahuan terhadap sesuatu dan tentu pengaruh lingkungan
yang menjadi faktor utamanya. Jika pemerintah tidak mengambil langkah berani
maka generasi emas bangsa akan tumbuh dalam bayang-bayang minuman keras. Tentu
kita tidak saja mengandalkan pemerintah harus ada upaya secara horizontal atau
langsung kepada masyarakat dalam memahamkan dan menyadarkan mereka akan bahaya
dan dampak negatif dari minuman keras secara pendidikan dan sosialisasi dengan
tetap bergerak ke atas yaitu mengharapkan adanya kebijakan kuat dari pemerintah
dalam mengatur dengan tegas produksi dan peredaran minuman keras.
Banyak upaya yang bisa kita
lakukan bersama tentu dengan melibatkan banyak pihak. Mulai dari media-media
yang harusnya memuat berita-berita dan tayangan yang positif. Janganlah
menampilkan berita-berita yang mendekatkan masyarakat kepada minuman keras.
Kemudian harus ada gerakan sosial yang mengkampanyekan bahaya minuman keras. Disinilah
peran anak muda yang notabenenya tidak tersentuh oleh minuman keras dibutuhkan.
Jiwa muda mereka yang empati, peduli terhadap sesama dan mudah mengapresiasi
serta bersosialisasi itu tumbuh. Karena pesan akan tersampaikan dengan baik ketika
pesan itu memiliki gelombang yang sama dengan penerimanya dan sesuai dengan
bahasa dan jiwa mereka. Komunitas, ya komunitas sosial inilah yang diperlukan.
Tentu satu dari sekian banyak upaya adalah
lingkungan keluarga. Pembentukan karakter dimulai disini. Maka support atau dukungan dari keluarga
harus ada. Memberikan pemahaman dan penyadaran kepada anak mereka dengan cara
yang baik dan santun.
Tidak mudah memang dalam
menyadarkan dan memahamkan seluruh lapisan masyarakat akan hal ini. Tapi hal
yang besar juga menuntut perjuangan yang besar. Saat seluruh lapisan masyarakat
bekerja di ranahnya masing-masing tentu akan jauh lebih mudah. Kita tidak bisa
bekerja sendiri dan ini adalah tanggung jawab kita bersama dalam menjaga
generasi peradaban cemerlang Indonesia.