Ingin sedikit berbagi pengalaman yang terjadi beberapa minggu yang
lalu. Mungkin beberapa dari kita juga pernah mengalami hal yang sama tapi kita
tidak pernah mengingatnya sebagai hal yang patut untuk dijadikan pelajaran dari
sebuah perjalanan kehidupan.
3 Oktober 2013. Hari ini penulis berencana untuk memesan tiket KA
(kereta api) dari Semarang ke Jakarta. Sebenarnya sudah dari pekan lalu ingin
pulang dan silaturahim ke tempat mamak dan makcik disana. Tapi karena beberapa
kendala jadilah hari ini.
Saat di stasiun poncol penulis baru ingat kalau semestinya dari
kos-an penulis harus membawa pena untuk menulis kertas berisi data
keberangkatan kita. Sebenarnya dari pihak stasiun juga sudah menyediakan pena
disana. Tapi hanya satu buah pena yang mereka sediakan dengan calon pembeli
tiket yang sangat banyak. Jadi tidak seimbang. Maka selain ada antrian tiket
juga ada antrian pena disana. Padahal kalau kita tidak mau mengantri, kita bisa
saja membelinya di alfamart atau penjual yang ada disana. Tapi namanya manusia
yang penuh perhitungan terhadap angka-angka dan harga-harga maka rasanya itu
juga sulit. Kenapa?
Pengalaman penulis, jika kita membeli pena di alfamart yang berada
di stasiun, mereka tidak menjual pena yang satuan atau eceran perbuah tapi
minimal kita harus membeli 2 buah pena yang memang sudah dipaket. Ataupun
ketika kita ingin membeli di penjual-penjual yang memanfaatkan peluang ini
mereka bisa menaikkan harga sampai 200%. Hah, namanya manusia ya. Emang dah...
:D
So, dengan kondisi tersebut relalah beberapa orang untuk mengantri
hanya demi sebuah pena kecuali jika mereka berani untuk meminjam pena dari
calon pembeli yang memang telah membawanya sebelum ke stasiun dan inilah yang
penulis lakukan. Hehehe....
Ketika itu penulis melihat seorang Ayah bersama anaknya yang masih
kecil sedang menulis formulir keberangkatan KA. Dengan memasang mimik wajah
yang berusaha menunjukkan ekspresi untuk ditolong dan malas mengantri, penulis
berkata kepada sang Ayah,”Pak, saya boleh pinjamnya penanya setelah bapak”?
Sang Ayah menjawab,” Ia mas setelah saya isi punya saya dulu”. Tapi dari nada
dan intonasi bicaranya seperti ada ketidakrelaan dan tidak mau meminjamkan
kepada penulis. Sebenarnya penulis juga tahu, tapi karena sudah dijanjikan ya
penulis tunggu hingga sang Ayah selesai menulis formulir miliknya.
Ditunggu dan ditunggu penulis merasa sang Ayah terlalu asyik
bermain dengan penanya hingga cukup lama Ia juga belum selesai mengisi formulir
miliknya. Ketika penulis lirik, yah ngambil KTP dari kantongnya saja seperti slow
motion dan gerakan tangannya untuk menulis sangat indah sekali hingga mungkin
membutuhkan waktu yang lama menyelesaikannya.
Sedangkan antrian untuk sebuah pena makin bertambah meski
perputarannya cepat. Tapi antrian untuk tiket? Panjaaaaaaaaaaaang dan lamaaaaaaaaaaa.
Dalam hati penulis sedang dilema. Apakah tetap menunggu pena dari sang Ayah
atau langsung mengambil antrian untuk sebuah pena tadi. Yah, penulis masih
tetap tidak beranjak dari posisinya yang berdiri untuk menunggu pena dari sang
Ayah. Tapi... tapi.... tapi....
tapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...............................................................................
Tahu apa yang terjadi???
Dengan segala keramahannya yang coba ditunjukkan sang Ayah kepada
penulis, Ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan menggandeng anaknya untuk
langsung masuk ke antrian tiket tanpa melihat dan berkata sepatah kata apapun
kepada penulis. Dan penanya??? Tidak perlu Anda tanya karena sang Ayah
membawanya tanpa ingin meminjamkannya kepada penulis. Tapi masalahnya kenapa Ia
tidak berkata dari awal kalau memang tidak mau meminjamkannya. Maka dengan
mengumpulkan segala kepingan hati yang mulai marah, kesal, dan segala macam
perasaan lainnya penulis mencoba untuk tetap santai dan tidak menanggapi apapun
dari sikap sang Ayah. Cukup untuk langsung berdiri dan mulai mengantri sebuah
pena yang memang telah disediakan oleh pihak stasiun.
Singkatnya penulis telah mengisi formulir keberangkatan dengan
harus mengantri pada barisan antrian sebuah pena. Namun, masih ada hal yang
membuat penulis makin geram dan kesal. Saat penulis berada di antrian sebuah
pena, penulis melihat sang Ayah malah meminjamkan penanya kepada salah seorang
dari calon pembeli tiket. Apa??? Ya sudahlah, jangan dibawa pikiran ntar malah
pusing sendiri jadinya.
Maka saat berada di antrian tiket, sang Ayah lumayan jauh berada di
depan penulis. Karena bosan menunggu dengan hanya berdiri dan berharap semoga
tiketnya masih ada, penulis sengaja melirik kepada sang Ayah agar ia merasa
bersalah dan setidaknya ada yang ia katakan kepada penulis. Tapi ternyata tetap
tidak ada sikap. Sepanjang antrian itulah penulis gak tahu kenapa seolah-olah
berharap yang tidak baik kepada sang Ayah. Salah satu contohnya, semoga
tiketnya terbang dibawa angin dan hilang entah kemana. Pokoknya selama antrian
itu penulis merasa menjadi kesal dengan sangat dan ingin marah kepada sang
Ayah. Ada pertempuran hati yang terjadi disana. Bagaimana tidak yang semestinya
penulis bisa dibarisan depan dan lebih cepat untuk membeli tiket malah tertinggal
di belakang.
Tapi sejenak terlintas pikiran. Apa yang akan Rasulullah lakukan
kalau semisalnya berada di posisi penulis. Apakah Rasul yang agung ini akan
marah atau mengambil sikap yang lainnya dan penulis yakin dan percaya kalau
pembaca juga pasti tahu jawabannya.
Jangankan hal seremeh ini. Diludahi dan dilempari kotoran unta saja
Rasul tetap tidak bergeming untuk membalas. Malah Bagindalah yang menjadi orang
pertama yang mengunjungi orang yang sering meludahinya ketika sakit. Dengan
mengingat kisah-kisah ini penulis sadar atas segala khilaf dalam pikiran yang
tidak baik kepada sang Ayah. Ya Allah, bagaimana telah Engkau anugrahkan
sebaik-baik teladan kepada kami semua...
Penulis kembali menoba untuk menjernihkan pikiran dan menarik
kepingan-kepingan hati yang penuh kebaikan setelah kepingan-kepingan jahat
menguasai sejenak. Yah, setidak sudah jauh lebih baik.
Bagaimana denganmu Ya Rasul... Mungkin kisah ini sangat sepele.
Tapi satu hal yang peulis rasakan saat itu adalah perasaan yang sangat berkecamuk
terhadap hal-hal yang tidak baik. Mendoakan sesuatu yang buruk kepada sang
Ayah, dan perasaan yang mungkin agak susah dideskripsikan ya... Hehehe :D. Dan
Sekali lagi mengingat kisah Rasul memang membuat kita bisa semangat, bisa
bertambah kuat, dan hal-hal yang penuh kebaikan lainnya.
0 komentar