BAGAIMANA DENGANMU WAHAI RASUL....???

By Ahmad Alfajar - 14.07

 
Ingin sedikit berbagi pengalaman yang terjadi beberapa minggu yang lalu. Mungkin beberapa dari kita juga pernah mengalami hal yang sama tapi kita tidak pernah mengingatnya sebagai hal yang patut untuk dijadikan pelajaran dari sebuah perjalanan kehidupan.

3 Oktober 2013. Hari ini penulis berencana untuk memesan tiket KA (kereta api) dari Semarang ke Jakarta. Sebenarnya sudah dari pekan lalu ingin pulang dan silaturahim ke tempat mamak dan makcik disana. Tapi karena beberapa kendala jadilah hari ini.

Saat di stasiun poncol penulis baru ingat kalau semestinya dari kos-an penulis harus membawa pena untuk menulis kertas berisi data keberangkatan kita. Sebenarnya dari pihak stasiun juga sudah menyediakan pena disana. Tapi hanya satu buah pena yang mereka sediakan dengan calon pembeli tiket yang sangat banyak. Jadi tidak seimbang. Maka selain ada antrian tiket juga ada antrian pena disana. Padahal kalau kita tidak mau mengantri, kita bisa saja membelinya di alfamart atau penjual yang ada disana. Tapi namanya manusia yang penuh perhitungan terhadap angka-angka dan harga-harga maka rasanya itu juga sulit. Kenapa?

Pengalaman penulis, jika kita membeli pena di alfamart yang berada di stasiun, mereka tidak menjual pena yang satuan atau eceran perbuah tapi minimal kita harus membeli 2 buah pena yang memang sudah dipaket. Ataupun ketika kita ingin membeli di penjual-penjual yang memanfaatkan peluang ini mereka bisa menaikkan harga sampai 200%. Hah, namanya manusia ya. Emang dah... :D

So, dengan kondisi tersebut relalah beberapa orang untuk mengantri hanya demi sebuah pena kecuali jika mereka berani untuk meminjam pena dari calon pembeli yang memang telah membawanya sebelum ke stasiun dan inilah yang penulis lakukan. Hehehe....

Ketika itu penulis melihat seorang Ayah bersama anaknya yang masih kecil sedang menulis formulir keberangkatan KA. Dengan memasang mimik wajah yang berusaha menunjukkan ekspresi untuk ditolong dan malas mengantri, penulis berkata kepada sang Ayah,”Pak, saya boleh pinjamnya penanya setelah bapak”? Sang Ayah menjawab,” Ia mas setelah saya isi punya saya dulu”. Tapi dari nada dan intonasi bicaranya seperti ada ketidakrelaan dan tidak mau meminjamkan kepada penulis. Sebenarnya penulis juga tahu, tapi karena sudah dijanjikan ya penulis tunggu hingga sang Ayah selesai menulis formulir miliknya.

Ditunggu dan ditunggu penulis merasa sang Ayah terlalu asyik bermain dengan penanya hingga cukup lama Ia juga belum selesai mengisi formulir miliknya. Ketika penulis lirik, yah ngambil KTP dari kantongnya saja seperti slow motion dan gerakan tangannya untuk menulis sangat indah sekali hingga mungkin membutuhkan waktu yang lama menyelesaikannya.

Sedangkan antrian untuk sebuah pena makin bertambah meski perputarannya cepat. Tapi antrian untuk tiket? Panjaaaaaaaaaaaang dan lamaaaaaaaaaaa. Dalam hati penulis sedang dilema. Apakah tetap menunggu pena dari sang Ayah atau langsung mengambil antrian untuk sebuah pena tadi. Yah, penulis masih tetap tidak beranjak dari posisinya yang berdiri untuk menunggu pena dari sang Ayah. Tapi... tapi.... tapi.... tapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...............................................................................

Tahu apa yang terjadi???
Dengan segala keramahannya yang coba ditunjukkan sang Ayah kepada penulis, Ia langsung berdiri dari tempat duduknya dan menggandeng anaknya untuk langsung masuk ke antrian tiket tanpa melihat dan berkata sepatah kata apapun kepada penulis. Dan penanya??? Tidak perlu Anda tanya karena sang Ayah membawanya tanpa ingin meminjamkannya kepada penulis. Tapi masalahnya kenapa Ia tidak berkata dari awal kalau memang tidak mau meminjamkannya. Maka dengan mengumpulkan segala kepingan hati yang mulai marah, kesal, dan segala macam perasaan lainnya penulis mencoba untuk tetap santai dan tidak menanggapi apapun dari sikap sang Ayah. Cukup untuk langsung berdiri dan mulai mengantri sebuah pena yang memang telah disediakan oleh pihak stasiun.

Singkatnya penulis telah mengisi formulir keberangkatan dengan harus mengantri pada barisan antrian sebuah pena. Namun, masih ada hal yang membuat penulis makin geram dan kesal. Saat penulis berada di antrian sebuah pena, penulis melihat sang Ayah malah meminjamkan penanya kepada salah seorang dari calon pembeli tiket. Apa??? Ya sudahlah, jangan dibawa pikiran ntar malah pusing sendiri jadinya.

Maka saat berada di antrian tiket, sang Ayah lumayan jauh berada di depan penulis. Karena bosan menunggu dengan hanya berdiri dan berharap semoga tiketnya masih ada, penulis sengaja melirik kepada sang Ayah agar ia merasa bersalah dan setidaknya ada yang ia katakan kepada penulis. Tapi ternyata tetap tidak ada sikap. Sepanjang antrian itulah penulis gak tahu kenapa seolah-olah berharap yang tidak baik kepada sang Ayah. Salah satu contohnya, semoga tiketnya terbang dibawa angin dan hilang entah kemana. Pokoknya selama antrian itu penulis merasa menjadi kesal dengan sangat dan ingin marah kepada sang Ayah. Ada pertempuran hati yang terjadi disana. Bagaimana tidak yang semestinya penulis bisa dibarisan depan dan lebih cepat untuk membeli tiket malah tertinggal di belakang.

Tapi sejenak terlintas pikiran. Apa yang akan Rasulullah lakukan kalau semisalnya berada di posisi penulis. Apakah Rasul yang agung ini akan marah atau mengambil sikap yang lainnya dan penulis yakin dan percaya kalau pembaca juga pasti tahu jawabannya.

Jangankan hal seremeh ini. Diludahi dan dilempari kotoran unta saja Rasul tetap tidak bergeming untuk membalas. Malah Bagindalah yang menjadi orang pertama yang mengunjungi orang yang sering meludahinya ketika sakit. Dengan mengingat kisah-kisah ini penulis sadar atas segala khilaf dalam pikiran yang tidak baik kepada sang Ayah. Ya Allah, bagaimana telah Engkau anugrahkan sebaik-baik teladan kepada kami semua...
Penulis kembali menoba untuk menjernihkan pikiran dan menarik kepingan-kepingan hati yang penuh kebaikan setelah kepingan-kepingan jahat menguasai sejenak. Yah, setidak sudah jauh lebih baik.


Bagaimana denganmu Ya Rasul... Mungkin kisah ini sangat sepele. Tapi satu hal yang peulis rasakan saat itu adalah perasaan yang sangat berkecamuk terhadap hal-hal yang tidak baik. Mendoakan sesuatu yang buruk kepada sang Ayah, dan perasaan yang mungkin agak susah dideskripsikan ya... Hehehe :D. Dan Sekali lagi mengingat kisah Rasul memang membuat kita bisa semangat, bisa bertambah kuat, dan hal-hal yang penuh kebaikan lainnya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar